PDM Kabupaten Wonosobo - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Wonosobo
.: Home > Artikel

Homepage

RELASI ULAMA DENGAN UMARA

.: Home > Artikel > PDM
04 Maret 2024 14:22 WIB
Dibaca: 66
Penulis :

Ulama dengan Umaro dua entitas yang berbeda, Ulama sangat mulia dalam Al Quran disebut warasatul  ambiya pewaris para nabi, sedangkan Umara mendapat mandat rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Ulama merupakan orang yang mengetahui, memahami dan mengamalkan ajaran agama sedangkan Umaro adalah  pejabat pemerintah yang melaksanakan kepemimpinan dan pembangunan masyarakat. Ulama di ranah etika dan nilai-nilai agama sedangkan Umaro diranah praksis kepemerintahan dan politik. Dengan demikian ulama memiliki fungsi kontrol moral dalam penyelenggaraan kebijakan publik.

Ulama dan Umara dua ranah yang berbeda tapi harus 'disatukan' bukan dalam kekuasaan politik tapi jembatan nilai yang menyatukan keduanya, apalagi dalam politik  ada adagium power tends to corrups, absolute power tends to absolute corrupt. Politik cenderung korup dalam aspek yang luas, korup uang, korup kebijakan, korup kekuasaan. Politik Machiavelli diakui keampuhannya : politik bebas nilai, kalau tidak bebas nilai, kalau pakai etika moral, aturan dan pendidikan politik maka jelas tidak akan terpilih. contoh paling mudah dan di mafhumi banyak orang adalah money politic dengan amplop atau barang maka akan dikenal, mengikat pemilih dan akan dipilih. Ulama harus berani mengatakan salah katakan salah meskipun semua orang melakukan dengan berbagai alasan, soal solusinya adalah tugas umaro untuk mengatasinya.

Politik bagi Barat tak lain meraih kekuasaan,  sementara dalam agama, politik adalah ibadah menjalankan fungsi sebagai hamba dan khalifah Allah, sehingga ada khittah ada nilai-nilai akhlak, moral dan agama dalam praksisme politik. Politik sekuler ini akan menimbulkan 'daya rusak politik' yang merambah kemana saja ke berbagai bidang, ketika politik bekerja melalui pemberian jabatan wapres, komisaris, alokasi anggaran, akses, janji, bansos, infrastruktur dll maka nilai-nilai profesionalisme, kompetensi, efektif efisien, kerakyatan, demokrasi, aturan, mekanisme, keadilan, kebenaran akan lenyap. Yang paling parahnya ketika para ulama, pemimpin, aktifis, ormas Islam malah justru berharap, mendekat ke kekuasaan dengan berbagai alasan untuk dakwah di pemerintahlah untuk pembangunan umat, dll. Pada saat itu marwah Ulama dan citra Islam rusak justru dihancurkan oleh pemimpinnya sendiri.

Pesan Kyai Dahlan : "Jadilah insinyur, jadilan dokter dan kembalilah ke Muhammadiyah". Kita memahami kehadiran Pemerintah  dalam kegiatan di Persyarikatan dalam perspektif kita sedang mengamalkan pesan Kyai Dahlan tersebut, ketika sowan, silaturahmi ke Muhammadiyah, itu bermakna mereka  datang untuk ‘meguru’ agar dapat hikmah, ilmu dan kearifan dalam mengemban amanah jabatan dengan baik.

Maqom Muhammadiyah itu lebih tinggi dari para praktisi politik tersebut, Muhammadiyah lebih tua dari Republik, bahkan salah satu owner Republik ini. Para ulama dan kyai selalu berusaha bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah. Para Pimpinan dan Kader juga sudah dipagari oleh paham dan ideologi. Khittah Muhammadiyah sebagai gerakan yang mengusung dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar jelas lebih utama dari para politisi tersebut sehingga posisi mereka adalah santri yang perlu diwejangi, di nasehati dan sami’na wa ato’na nderek petuah kyai agar selalu dijalan yang benar.

Inilah Marwah Muhammadiyah yang harus dijaga dalam berhubungan, bersinergi dan bekerjasama dengan siapapun dan sampai kapanpun apalagi dengan para pejabat, pemegang kekuasaan, pembuat kebijakan dan peraturan harus sering ‘dijewer’ kalau menyalahi nilai etis, amanah keadilan dan kesejahteraan rakyat, pemegang kedaulatan sesungguhnya. Jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya, transaksi politik, yang satu punya massa yang satunya lagi butuh massa, akhirnya sepakat untuk saling menguntungkan. Ayat Al Qur’an jadi komoditas politik, jualan ayat untuk dapat posisi dan keuntungan pribadi dengan kamuflase untuk kepentingan umat.

Mengutip tulisan Haedar Nashir di Suara Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah memiliki marwah, kehormatan yang harus dijaga sebagai berikut, Pertama, Khitah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, tidak memiliki hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi  dengan parpol manapun, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan dan warga menyalurkan aspirasi politiknya sesuai hati nuraninya masing-masing. Kedua, Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan golongan manapun berdasarkan prinsip kebaikan dan kemasalhatan menjauhi kemudharatan dan bertujuan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban. Ketiga, Muhammadiyah meminta kepada anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah) akhlak mulia (akhlaq al karimah) keteladanan (uswah hasanah) dan perdamaian (Ishlah). Keempat,  Muhammadiyah secara organisasi tidak masalah  memperoleh bantuan dari pemerintah atau golongan manapun asal Untuk kepentingan organisasi  secara elegan, tanpa merendahkan diri, halal dan tidak mengikat dan tidak ada kepentingan  pribadi dan dinasti dan pada saat yang sama para pemimpin Muhammadiyah juga tetap leluasa  memberi masukan dan kritikan. untuk mewujudkan kehidupan yang menerapkan sistem nilai Islam dalam negara bangsa menuju baldlatun thoyyibatun wa rabbun ghafur masyarakat yang diberkahi dan di ridhai Allah swt.

 

Rudispramz040224


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website